Sobat Praktis,
Ada sebagian guru percaya bahwa menjadi sosok yang
kreatif itu sulit. Apalagi kalau ditambahi alasan gaji pas-pasan, mengajar di
daerah pelosok, media pembelajaran sangat terbatas, maka semakin yakinlah bahwa
kreativitas itu memang sulit dilakukan. Mungkin, hanya guru-guru istimewa saja
yang bisa kreatif. Lantas, apa benar jadi guru kreatif itu sulit?
Sebut saja namanya Siti Waliyati, anak yang
terlahir dan mengabdikan dirinya di pelosok desa. Sekarang dia mengajar di SDN
8 Langkahan (Aceh Utara). Saya kaget bukan main, SDN 8 Langkahan terletak jauh
sekali dari pusat kota. Perlu waktu sekitar 1,5 – 2 jam dari kota Lhokseumawe
agar bisa sampai di SDN 8 Langkahan. Jalannya cukup berliku dan berbatu,
berdebu di musim kemarau, dan berlumpur di kala hujan. Mobil tumpangan saya
pernah terjebak lumpur, rombongan babi hutan sempat menghadang, bahkan saya
hampir nyasar ke hutan karena salah jalan. Namun, bagi Siti, hal semacam ini
sudah menjadi bagian dari kesehariannya.
Gaji Siti sangat kecil kalau tidak mau kita sebut
alakadarnya. Dia tak pernah risau dengan statusnya sebagai guru honorer. Dia
tak pernah berpikir bisa jadi guru hebat nan kreatif karena segala akses
pengembangan diri sungguh sangat terbatas. Keikutsertaan menghadiri training
guru bisa dihitung dengan jari, buku referensi hampir jarang ditemukan.
Supervisi dari kepala sekolah tidak pernah rutin dijalani. Tapi, di sinilah
kehebatan Siti sedang diuji. Mungkinkah dia bisa jadi guru hebat dengan segala
keterbatasan yang ada?
Jawabannya ternyata ditemukan juga. Lomba Inovasi
Media Pembelajaran Se-Kecamatan Langkahan menjadi saksi bisu atas perjuangan
Siti menjadi guru hebat nan kreatif. Lomba itu memberi tantangan khusus kepada
peserta untuk membuat inovasi media pembelajaran yang kreatif, orisinil, dan bisa
digunakan dalam kegiatan pembelajaran.
Ada 17 peserta yang lolos ke babak final. Saya
ingat betul, Siti menjadi peserta yang mendapat giliran tampil kedua untuk
menyajikan hasil karyanya. Bungkus rokok, potongan kayu-kayu kecil, potongan
karet sendal jepit berbentuk lingkaran, sedotan, dan sebuah balon, berhasil
disulap menjadi mobil-mobilan. Saya dibuat penasaran jadinya. Apa yang hendak
ditunjukkan Siti kepada dewan juri?
Dengan gaya khasnya, dia menjelaskan apa dan
mengapa tujuan media itu dibuat. Semua dewan juri menganggukkan kepala tanda
memahami apa yang disampaikan Siti. “Dengan alat ini, saya ingin membantu siswa
memahami konsep gaya,” urai Siti meyakinkan. Situasi menjadi sedikit tegang
ketika Siti harus mendemonstrasikan alat itu. Sesaat Siti menghela nafas, lalu
meniup balon dengan sedotan, dan diletakkannya balon itu di bagian rangka
mobil, lalu apa yang terjadi?
Sontak suara tepuk tangan riuh bergema di semua
sudut ruangan, mobil itu berhasil meluncur dengan bantuan udara yang keluar
dari balon. Fantastis. Beberapa dewan juri sempat pula meminta Siti melakukan
hal itu berulang-ulang. Wualah, orang tua aja senang bukan main belajar dengan
alat ini, apalagi anak-anak. Pikiran itu terlintas di benak saya.
Siti benar-benar berhasil menyihir dewan juri
dengan kreativitasnya yang tiada tara. Apalagi setelah melihat penampilan
peserta lainnya, mereka hampir tidak mampu menunjukkan aspek orisinalitas
produk inovasi dan kemudahan bahan yang akan dibuat media pembelajaran
tersebut. Yang ada, mereka hanya membawa contoh media pembelajaran yang sudah
jadi dan bisa didapatkan di pasaran, seperti
globe, gambar-gambar hewan dan tumbuhan, dan media sejenis lainnya.
Untuk dua hal ini, orisinalitas gagasan dan
kreativitas meracik bahan baku pembuatan media, Siti berhasil mengungguli
peserta lainnya yang relatif sudah memiliki pengalaman mengajar lebih lama dari
Siti. Belum lagi kalau mau dibandingkan dari aspek besar gaji yang diterima,
frekuensi keikutsertaan mengikuti training guru, dan keterasingan dari akses
pengembangan diri lainnya, Siti kalah telak dari kontestan lainnya yang
sebagian besar sudah menjadi guru PNS.
Ah, tapi apa hubungannya antara kreativitas dan
besarnya gaji? Apa memang betul senioritas dalam hal pengalaman mengajar
berbanding lurus dengan kreativitas? Status guru PNS atau honorer,
berpengaruhkah pada sikap kreatif seorang guru? Ah, Bu Siti mungkin tahu
jawabannya.
“Ini baru awal, saya akan berjuang lebih keras
lagi untuk menjadi guru yang baik,” Siti sempat berujar di sela-sela acara
pengumuman pemenang lomba. Dan tekad itu dibuktikannya pula. Secara otodidak,
Siti terus mempelajari banyak hal untuk meningkatkan kualitas mengajarnya.
Sampai akhirnya, dia terpilih mewakili SDN 8 Langkahan untuk menjadi pembicara
di Event Hari Guru Nasional 2010 silam di Jakarta.
Apa yang dia bicarakan tidak jauh-jauh dari apa
yang sudah dilakoninya selama ini. PAIKEMI (Pembelajaran Aktif Inovatif Kreatif
Efektif Menyenangkan Islami), istilah populer yang kerap masih sulit dilakukan
sebagian besar guru yang belum sadar akan manfaat dari strategi mengajar ini.
Guru yang usianya terhitung masih sangat muda ini pun sangat konsisten
mempraktikkan PAIKEMI di kelasnya.
Kreatif, semua orang bisa miliki sifat ini.
Kreativitas, menuntut proses belajar tiada henti dan tidak pernah merasa
berpuas diri dalam hal bekerja dan berkarya. Siti Waliyati, potret menarik
perjuangan guru dalam berkreativitas. Tak ada yang sulit jika kita terus mau
belajar dan memperbaiki diri. Berangus rasa berpuas diri karena ini ancaman nyata
menjadi guru kreatif.
Gaji yang minim, sulitnya akses pengembangan diri,
jarangnya kesempatan mengikuti training guru, statusnya yang masih guru
honorer, bukan alasan bagi Siti untuk tidak bisa jadi guru kreatif. Lantas, apa
yang bisa membuat Siti melawan segala keterbatasan yang ada?
“Saya akan terus berjuang untuk mendidik anak-anak
Langkahan, kasihan kalau mereka tidak ada guru. Mereka tak akan pernah punya
masa depan,” Siti menegaskan komitmennya berikhtiar tuk jadi guru yang baik.
Ternyata sederhana saja, komitmen diri, itu kunci menjadi guru kreatif. Siti
Waliyati, salah satu contoh terbaik sosok guru kreatif. Republika
0 comments:
Posting Komentar