Ilmuan (Ilustrasi) |
Sementara itu,
seorang dosen hanya menghasilkan produk rencana proses pembelajaran (RPP),
bahan ajar, modul, buku, dan makalah. Produk itu tidak memiliki korelasi dengan
kenaikan jumlah mahasiswa atau berujung pada kenaikan pendapatan pengelola
perguruan tinggi. Paling banter, dalam banyak kasus, gelar seorang dosen dijadikan
untuk ”menakut-nakuti” para calon pengguna. Setelah itu, dosen hanya mewah di
dalam kampus, tetapi merana di luar kampus.
Di negeri ini,
berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, jumlah dosen di PTN dan
PTS sekitar 130.000 orang. Jumlah itu terdiri atas 70.000 dosen PNS, 50.000
dosen PTS, dan 10.000 dosen yang tak tercatat. Pendapatan mereka bervariasi
berdasarkan institusi, jabatan fungsional, pengalaman kerja, dan pendidikan.
Jika pendapatan dosen
PTN mulai dari Rp 1,5 juta hingga Rp 13 juta, dosen PTS jaraknya lebih sempit,
yakni Rp 500.000 hingga Rp 3 juta.
Sementara itu, dosen
yang berlindung di bawah institusi pendidikan partikelir telah hidup di antara
jumlah satuan kredit semester (SKS) dan kebaikan yayasan. Berdasarkan UU No
14/2005 tentang Guru dan Dosen, tepatnya pada Pasal 72 Ayat 2 dinyatakan, dosen
wajib mengajar 12 hingga 16 SKS. Apabila satu SKS dihargai Rp 50.000, si dosen
hanya akan mendapatkan penghasilan Rp 600.000 hingga Rp 800.000 per bulan.
Faktor
penghambat
Berdasarkan fakta di
atas, ada dua faktor penghambat sehingga ilmuwan di Indonesia tidak berkembang.
Pertama, mekanisme perundang-undangan yang ada tidak melindungi kepentingan
dosen. Baik UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen maupun UU No 20/2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional tidak menentukan standar kehidupan yang layak bagi
seorang dosen. Apalagi, UU tersebut sekaligus menegaskan bahwa dosen tidaklah
berlindung di bawah UU Ketenagakerjaan.
Diasumsikan, dosen
bukanlah pekerjaan yang sudah pasti menuai penghasilan yang memadai. Pada
kenyataannya, menjadi dosen hanyalah persoalan ”bagaimana saya menjalani hidup”
dan bukan ”bagaimana saya mencari uang”. Ketika dunia digerakkan dengan mesin,
dan segala-galanya diukur dengan uang, semangat ”menjalani hidup” itu hanya
akan menjadi idealisme konyol di tengah gurita materialisme dan hedonisme.
Kedua, sistem sosial
tidak memberikan ruang bagi kesejahteraan dosen. Pada era 1980-an, konsep
pragmatisme perguruan tinggi dilaksanakan melalui rumusan link and match. Ini
hanya akan menjadikan dosen sebagai pelatih yang mempersiapkan anak didik
sebaga
i pekerja tanpa memiliki dimensi kreatif.
Pada era 2000-an,
konsep pragmatisme itu diperbarui melalui pencanangan universitas riset.
Dibayangkan bahwa dosen akan menghasilkan inovasi produk, tetapi pada
kenyataannya inovasi itu telah diambil alih oleh lembaga-lembaga swasta yang memiliki
dana lebih besar dan respons lebih cepat.
Pada era perdagangan
bebas, ketika perguruan tinggi asing dapat dengan mudah masuk di Indonesia,
perguruan tinggi telah bergerak le
bih praktis dengan cara mendudukkan dosen
sebagai pekerja. Sistem operasi perguruan tinggi telah menyamakan diri dengan
sistem waralaba produk rumah tangga.
Sistem
lemah
Gambaran di atas
menunjukkan lemahnya sistem perundangan dan sistem sosial kita dalam melindungi
kepentingan kaum ilmuwan. Dengan kata lain, kita tidak sekadar butuh ilmuwan
yang mampu menghasilkan produk yang bisa dijual, tetapi juga sistem sosial yang
dapat diandalkan untuk kehidupan para ilmuwan.
Pada kenyataannya,
ilmuwan masa kini adalah orang pintar yang tidak dibutuhkan masyarakat. Pepatah
Jawa, kebo bule mati setra, kerbau putih mati di lapangan. Kerbau putih adalah
hewan yang sangat khusus karena hanya dimiliki oleh kaum bangsawan, tetapi
harus mati karena tidak ada yang merawat. Ilmuwan telah menjadi komunitas asing
yang kehilangan para penyokongnya. (Fajar dan dari pelbagai sumber di KOMPAS)
0 comments:
Posting Komentar