RPP-ku Untukku, RPP-mu Untukmu




Kisah ini dimulai ketika saya berencana untuk melakukan penelitian tentang profil dokumen Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) Matematika di kalangan guru-guru SD/MI.  Dengan bantuan seorang teman yang menjadi wakasek kurikulum di sekolahnya, setelah mendapat izin dari kepala sekolah, saya meminta beliau untuk mengumpulkan contoh dokumen RPP yang pernah dibuat & dilaksanakan oleh rekan sejawatnya di kelas.

Namun, proses pengumpulan tak semudah yang dibayangkan. Batas waktu yang saya tentukan untuk mengumpulkan seluruh dokumen RPP tak dapat ditepati. Sampai akhirnya, semua dokumen RPP yang diminta berhasil dikumpulkan. Lantas, ketika teman saya melaporkan hasil kerjanya, saya penasaran bertanya, “Adakah masalah di sekolah sehingga guru-guru terlambat mengumpulkan dokumen RPP yang saya minta?”

Secara lugas teman saya memberikan keterangan, “Maaf teman, sebagian guru cenderung tidak membuat RPP pada saat mengajar. Malah ketika saya minta dokumen RPP-nya dikumpulkan, ada sebagian guru yang berdalih RPP-nya tak usah dikumpulkan karena merasa sudah diwakili oleh RPP temannya yang sudah dikumpulkan”.

Geli rasanya mendengar penjelasan ada sebagian besar guru yang merasa tak usah memberikan contoh dokumen RPP-nya karena sudah diwakili oleh RPP milik temannya yang sudah dikumpulkan. Apakah RPP seorang guru bisa mewakili RPP guru lainnya? Jika karakteristik siswa yang ditangani satu guru & guru lainnya berbeda, apakah dapat dibenarkan jika RPP guru yang satu dengan guru lainnya persis sama? Bukankah pembelajaran bersifat pribadi, mungkinkah RPP yang dibuat bersifat kolektif? Banyak pertanyaan yang spontan muncul sesaat setelah mendengar penjelasan dari teman saya tadi.
Ibarat seorang insinyur bangunan, dia bertanggung jawab merencanakan rancang bangun yang dapat dipahami oleh tukang bangunan. Ketika rancang bangun dibuat dengan baik, maka jelas hal ini sangat memudahkan para tukang bangunan untuk mengeksekusi program pembangunan. Tetapi tidak sebaliknya. Karena insinyur bangunan tidak membuat rancang bangun dengan baik, maka alamat gagalnya proses pembangunan sangat terbuka lebar.

Bagaimana dengan guru? Setali tiga uang, merencanakan pembelajaran yang baik akan memuluskan langkah untuk mencapai tujuan pembelajaran. Lebih dari itu, RPP memiliki manfaat luar bisa jika dibuat sebaik mungkin oleh guru.

Clark & Lampert (1986) menyatakan, “Functions of teacher planning include allocating instructional time for individuals and groups of students, composing student groupings, organizing daily, weekly, and term schedules, compensating for interruptions from outside the classroom and communicating with substitute teachers”. Salah sendiri jika strategi mengajar tidak efektif dijalankan, salah sendiri jika keberhasilan belajar siswa tidak pernah mencapai ketuntasan minimal, bisa jadi semua berawal karena tak membuat rencana pembelajaran dengan baik.

Salah adalah bagian dari proses belajar, namun jika kesalahan tak pernah diperbaiki berarti tidak ada itikad baik untuk berubah. Percayalah, RPP bukan sekadar soal administrasi melainkan cara terbaik untuk memastikan proses pembelajaran berkualitas dengan hasil belajar siswa yang luar biasa.

Pada hakikatnya penyusunan RPP bertujuan merancang pengalaman belajar siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Ciri RPP yang baik hendaknya mengikuti beberapa kaidah berikut, (1) memuat aktivitas proses belajar mengajar yang akan dilaksanakan oleh guru yang akan menjadi pengalaman belajar siswa, (2) langkah-langkah pembelajaran disusun secara sistematis agar tujuan pembelajaran dapat tercapai, (3) langkah-langkah pembelajaran dibuat serinci mungkin, sehingga jika RPP digunakan oleh guru lain karena tidak bisa hadir, maka RPP tersebut tetap mudah dipahami dan tidak menimbulkan penafsiran ganda (TIM Penyusun Panduan RPP – PSG Rayon 2 UNIMED).

Tak ada satu alasan apa pun yang bisa menjelaskan seorang guru boleh meng-copy paste RPP punya satu guru untuk digunakan oleh guru lainnya. Proses copy paste berarti mengabaikan prinsip kejujuran, karena mengajar di kelas sendiri pasti berbeda dengan situasi di kelas lainnya. Walaupun satu guru mengajar di kelas yang sama, namun tentu setiap guru memiliki gaya mengajar berbeda untuk disesuaikan dengan kebutuhan belajar siswanya & karakteristik kelas yang diajarnya.

 “Analysis of Mathematics Instructional Design as an Instrument for Mathematics Teaching Reform”, judul makalah yang pernah saya sajikan di Event Seminar Nasional Matematika UNPAD-UI pada akhir Desember 2008 silam. Isi makalah ini berupa laporan penelitian saya tentang profil dokumen RPP Matematika di kalangan guru-guru SD/MI di Bogor.

Kegelian saya bertambah luar biasa jika melihat hasil penelitian itu, (1) sebagian besar guru tidak dapat mengintegrasikan hubungan antara tujuan pembelajaran, strategi pembelajaran, dan evaluasi pembelajaran; (2) sebagian besar guru cenderung menggunakan metode tunggal, yaitu metode ceramah sebagai sebuah strategi mengajar; (3) sebagian besar guru cenderung hanya mengevaluasi kemampuan hapalan siswa (kemampuan berpikir tingkat rendah).

Setelah saya coba pahami kenyataan yang terjadi, akhirnya saya tidak merasa aneh lagi jika RPP satu guru dengan guru lainnya hampir mirip isinya. Misal, ada beberapa guru yang membuat prosedur pembelajaran sama, seperti dimulai dari doa, apersepsi, ceramah, latihan soal, pembahasan, penutup, dan diakhiri dengan doa lagi. Ini tanda guru belum paham makna dari RPP.

Satu guru tidak paham cara membuat RPP, lalu dia keliru membuat RPP. Karena guru lain beranggapan RPP temannya yang keliru itu baik, maka copy paste RPP punya teman jadi pilihan. Fatal akibatnya, siswalah yang akhirnya jadi korban karena gurunya tidak paham apa dan bagaimana seharusnya membuat RPP yang baik. Karena aku bukan kamu dan kamu bukan aku, seharusnya guru-guru serempak berkata RPP-ku untukku, RPP-mu untukmu…

0 comments:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Web Hosting Bluehost